Berbicara tentang mahasiswa maka yang terbayang
adalah sosok pemuda yang identik dengan manusia intelektual, pembelajar,
idealisme, semangat, kritis terhadap permasalahan, kegairahan dan lain
sebagainya. Itu gambaran saya, gambaran yang saya tanam diotak ketika masih SMA
dan bertransformasi di dunia kampus.Namun ketika saat ini menengok kondisi
kampus, khususnya kampus yang membesarkan saya Univesitas Negeri Malang, fakta
dilapangan tidak seideal sebagaimana yang saya bayangkan. Benar-benar telah
terjadi pergeseran kultur yang luar biasa. Mahasiswa kritis dengan idealism
menggebu2, khususnya mereka yang peduli dan
mengkritisi kebijakan kampus dan pemerintah sudah agak jarang saya
temui. Yang ada adalah mahasiswa dengan kultur yang mengejar IPK tinggi, segera
lulus dan segera kerja.
Memang benar keberadaan kampus /perguruan tinggi tak lain dan tak
bukan memiliki 3 fungsi utama, pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat. Sebagai mahasiswa yang menjadi bagian penting dan ujung tombak PT,
tentunya harus bisa menyeimbangkan ketiga fungsi tersebut tanpa mengesampingkan
beberapa penting mahasiswa.
Sekedar mengingat beberapa peran penting mahasiswa
diantaranya Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”( mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki
kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya
).2 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value” (mahasiswa berperan
sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat 3. Mahasiswa Sebagai “Agent of
Change” (mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan) Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan
kenapa pula mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut,
lantas dalam melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat metode yang tidak
tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu
menyebar terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang kita harapkan,
yaitu bangsa ini.
Saat ini posisi mahasiswa semakin kabur bahkan
abu-abu. Hal ini dikarenakan sejak zaman Orde Baru gencar dilakukannya
“depolitisasi” massa termasuk didalamnya adalah Pemuda/Mahasiswa. Seperti yang
disampaikan oleh Bennedict Anderson, misalnya, menyebut bahwa definisi “pemuda”
sejak revolusi kemerdekaan sampai menjelang orde lama mereka selalu
dikaitkan dengan “dimensi politik”. Akan tetapi setelah Orde Baru berkuasa
bukan hanya terjadi degradasi makna bahkan dekadensi. Pergesaran makna “Pemuda”
menjadi “Remaja”. Artinya hasil dari depolitisasi pemerintah Orde Baru, Pemuda
mengalami pergeseran makna yang dulunya memuat dimensi politis, menjadi
“Remaja” yang berkaitan dengan soal gaya hidup. Disinilah Mahasiswa menjadi
massa yang mengambang (floating mass). Mahasiswa menjadi
kalangan yang seringkali “galau”.
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa Mahasiswa
selalu ambil bagian untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini dapat dilihat
dari sejak masa penjajahan Belanda dimana para Mahasiswa yang belajar di STOVIA
mempelopori gerakan yang berhasil mengubah keadaan bangsa ini yang jatuh pada
kemiskinan dan penjajahan diubahnya pada kondisi yang lebih beradab dan
merdeka. Dalam hal ini, pergerakan mahasiswa tidak hanya diartikan dengan
pemahaman sempit dan dangkal yang merujuk pada gerakan berunjuk rasa dan
membuat kerusuhan di jalan-jalan. Akan tetapi lebih pada gerakan mahasiswa yang
berpartisipasi aktif dalam proses perubahan tatanan sosial-politik yang lebih
adil. Hal ini mengarah pada pemahaman pergerakan Mahasiswa sebagai komunitas
sosial yang menjadi “lakon” pergerakan perubahan yang bersifat
progresif-revolusioner di bidang sosial-politik.
Terlontar pemikiran bahwa Mahasiswa sebagai
ujung tombak perubahan sistem sosial-politik. Pemikiran ini berlandaskan pada
pemahaman bahwa Mahasiswa merupakan komunitas yang lebih maju yang didalamnya
terdapat orang yang mengenyam pendidikan tinggi (intelektual muda) dibanding
dengan komunitas yang lain di masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai orang yang
lebih tahu, lebih banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu,
wajib untuk menentukan sikap terkait keadaan, baik mengubahnya atau
memperbaikinya. Artinya Mahasiswa harus aktif dalam proses perubahan keadaan
yang ada di masyarakat. Dari pemahaman ini, bisa dikatakan Mahasiswa sebagai
komunitas yang lebih maju di masyarakat harus lebih cepat merespon permasalahan
kesenjangan sosial-poliik yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan secara
struktural yang dialami oleh masyarakat. Tentunya politik yang diperjuangkan
oleh Mahasiswa adalah Politik Nilai (nilai kemanusiaan, keadilan dll) bukan
Politik mencari kekuasaan. Pergerakan Mahasiswa mulai muncul pasca
kemerdekaan di era 1960an. Organisasi mahasiswa yang berdiri ketika itu
misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia
(Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
Himpunan Mahasiswa
Indonesia (HMI).
Dari sinilah perlahan-lahan gerakan mahasiwa
mulai tampil kritis, terlepas dari tidak adanya parpol yang menaungi mereka.
Disini pergerakan-pergerakan Mahasiswa gencar melakukan kritik terhadap
pemerintahan Orde Lama terkait keadaan ekonomi masyarakat. Pasca
peristiwa ini gerakan mahasiswa semakin menguat. Ini bisa dilihat dari
terbentuknya KAMI yang mengusung Tritura dimana mahasiswa cenderung
melekat kepada militer (AD) (dalam Adi Surya Culla, 1999).
Memasuki pertengahan tahun 1970-an, gerakan
mahasiswa kembali bergolak. Tepatnya di tahun 1974 dan tahun 1978. Di tahun
1974 meletuslah Peritiwa Malari. Peristiwa Malari adalah gerakan pertama
mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan pembangunan Soeharto
(dalam Adi Surya Culla, 1999). Pergerakan Mahasiswa pada masa ini dengan kental
ditunjukan terhadap Kebijakan Orde Baru yang Pro terhadap Modal Asing sebagai
penjajahan baru di Indonesia terutama Jepang pada saat itu. Gerakan mahasiswa
berikutnya yaitu pada tahun 1978. Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini
muncul karena kekecewaan mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan
Soeharto serta kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari
nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan
berani mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali
mencalonkan dirinya menjadi Presiden (dalam Adi Surya Culla, 1999).
Untuk menghindari aksi-aksi berikutnya dari
mahasiswa, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan melalui SK menteri
pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980
tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk mengebiri kegiatan aktifitas
politik mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup memahami politik dalam artian
teori bukan praktek.. Pemerintah Orde Baru melakukan intervensi dalam kehidupan
kampus, dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Kebijakan ini
benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada.
Karena setiap tindakan yang mengarah kepada
kritikan terhadap pemerintah, langsung dihadapi oleh cara-cara represif melalui
penculikan dan penembakan misterius (petrus). Alasannya, hal itu dapat
menggganggu stabilitas keamanan. Kebijakan ini sebagai bagian dari upaya
depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa. Mahasiswa dilarang
berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik, kebebasan
intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada
organisasi-organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara
berpikir bagi semua civitasnya.
Gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan
NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh
Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika
mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi
politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun
waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas
mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang
tinggi. Aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan
politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan
kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran.
Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan
tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh
efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama
puluhan tahun hingga sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas
mengkritisi kebijakan penguasa. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin
mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya. Yang terjadi
kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali
ke dunia akademik, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, membentuk
NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan
rezim dan sebagainya.
NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil
mengemis reformasi ekonomi-politik pada rezim diktator/korup, bahkan ada yang
masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa. Disini Mahasiswa
“digiring masuk kandang (kampus)” agar tidak membuat risih Pemerintah.
Mungkin saat ini kita sendiri menyaksikan tanpa adanya Neo-NKK/BKK
(NKK/BKK baru) aktivitas heroik Mahasiswa sudah sendirinya mati, keracunan
bahkan overdosis serta terpenjara dalam kampus sampai membusuk tua. Di era
Reformasi saat ini, yang menjunjung tinggi Demokrasi tentunya kabijakan NKK/BKK
melanggar UU Hak Asasi Manusia terkait Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan
berfikir, berekspresi, dan berkeyakinan politik. Bahkan melanggar Kebebasan Akademik
dalam UU SISDIKNAS. Tak bisa dipungkiri, kepeloporan gerakan mahasiswa
telah menggoreskan banyak catatan-catatan gerakan pembaharuan.
Di belahan bumi manapun, mahasiswa selalu
tampil pada garda terdepan dalam mendorong perubahan. Sikap kritis dan
kepedulian terhadap kondisi riil masyarakat terus dimiliki mahasiswa sehingga
tak segan-segan melakukan pengorbanan demi kejayaan bangsanya. Akan
tetapi sistem pendidikan kita sekarang semenjak diberlakukannya NKK/BKK
menuntut seorang mahasiswa berada pada posisi study oriented, dan rasanya posisi
ini tidak mungkin dapat ditawar-tawar lagi. Melupakan semua keresahan sosial
dan penderitaan rakyat yang dilihat dan dirasakannya. Serta bekerja keras
meraih nilai terbaik agar sebanding dengan nilai rupiah yang telah dikeluarkan
untuk membiayai ongkos kuliah yang memang ditetapkan mahal oleh penguasa.Iklim
NKK/BKK masih berlumut di dunia kampus. Sehingga sampai sekarang pergerakan
mahasiswa dianggap jauh dari memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
sosial.
(dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar