Kamis, 27 Juni 2013

Idealisme Mahasiswa yang mulai memudar


Berbicara tentang mahasiswa maka yang terbayang adalah sosok pemuda yang identik dengan manusia intelektual, pembelajar, idealisme, semangat, kritis terhadap permasalahan, kegairahan dan lain sebagainya. Itu gambaran saya, gambaran yang saya tanam diotak ketika masih SMA dan bertransformasi di dunia kampus.Namun ketika saat ini menengok kondisi kampus, khususnya kampus yang membesarkan saya Univesitas Negeri Malang, fakta dilapangan tidak seideal sebagaimana yang saya bayangkan. Benar-benar telah terjadi pergeseran kultur yang luar biasa. Mahasiswa kritis dengan idealism menggebu2, khususnya mereka yang peduli dan  mengkritisi kebijakan kampus dan pemerintah sudah agak jarang saya temui. Yang ada adalah mahasiswa dengan kultur yang mengejar IPK tinggi, segera lulus dan segera kerja.
Memang benar keberadaan kampus /perguruan tinggi tak lain dan tak bukan memiliki 3 fungsi utama, pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Sebagai mahasiswa yang menjadi bagian penting dan ujung tombak PT, tentunya harus bisa menyeimbangkan ketiga fungsi tersebut tanpa mengesampingkan beberapa penting mahasiswa.
Sekedar mengingat beberapa peran penting mahasiswa diantaranya Mahasiswa Sebagai “Iron Stock”( mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya ).2 Mahasiswa Sebagai “Guardian of Value” (mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di masyarakat 3. Mahasiswa Sebagai “Agent of Change” (mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan) Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula mahasiswa harus menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat metode yang tidak tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu menyebar terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang kita harapkan, yaitu bangsa ini.
 Saat ini posisi mahasiswa semakin kabur bahkan abu-abu. Hal ini dikarenakan sejak zaman Orde Baru gencar dilakukannya “depolitisasi” massa termasuk didalamnya adalah Pemuda/Mahasiswa. Seperti yang disampaikan oleh Bennedict Anderson, misalnya, menyebut bahwa definisi “pemuda” sejak revolusi kemerdekaan  sampai  menjelang orde lama mereka selalu dikaitkan dengan “dimensi politik”. Akan tetapi setelah Orde Baru berkuasa bukan hanya terjadi degradasi makna bahkan dekadensi. Pergesaran makna “Pemuda” menjadi “Remaja”. Artinya hasil dari depolitisasi pemerintah Orde Baru, Pemuda mengalami pergeseran makna yang dulunya memuat dimensi politis, menjadi “Remaja” yang berkaitan dengan soal gaya hidup. Disinilah Mahasiswa menjadi massa yang mengambang (floating mass). Mahasiswa menjadi kalangan yang seringkali “galau”.
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa Mahasiswa selalu ambil bagian untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini dapat dilihat dari sejak masa penjajahan Belanda dimana para Mahasiswa yang belajar di STOVIA mempelopori gerakan yang berhasil mengubah keadaan bangsa ini yang jatuh pada kemiskinan dan penjajahan diubahnya pada kondisi yang lebih beradab dan merdeka. Dalam hal ini, pergerakan mahasiswa tidak hanya diartikan dengan pemahaman sempit dan dangkal yang merujuk pada gerakan berunjuk rasa dan membuat kerusuhan di jalan-jalan. Akan tetapi lebih pada gerakan mahasiswa yang berpartisipasi aktif dalam proses perubahan tatanan sosial-politik yang lebih adil. Hal ini mengarah pada pemahaman pergerakan Mahasiswa sebagai komunitas sosial yang menjadi “lakon” pergerakan perubahan yang bersifat progresif-revolusioner di bidang sosial-politik.
Terlontar pemikiran bahwa Mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan sistem sosial-politik. Pemikiran ini berlandaskan pada pemahaman bahwa Mahasiswa merupakan komunitas yang lebih maju yang didalamnya terdapat orang yang mengenyam pendidikan tinggi (intelektual muda) dibanding dengan komunitas yang lain di masyarakat. Mahasiswa dianggap sebagai orang yang lebih tahu, lebih banyak mendapatkan informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu, wajib untuk menentukan sikap terkait keadaan, baik mengubahnya atau memperbaikinya. Artinya Mahasiswa harus aktif dalam proses perubahan keadaan yang ada di masyarakat. Dari pemahaman ini, bisa dikatakan Mahasiswa sebagai komunitas yang lebih maju di masyarakat harus lebih cepat merespon permasalahan kesenjangan sosial-poliik yang dapat mengakibatkan terjadinya penindasan secara struktural yang dialami oleh masyarakat. Tentunya politik yang diperjuangkan oleh Mahasiswa adalah Politik Nilai (nilai kemanusiaan, keadilan dll) bukan Politik mencari kekuasaan.  Pergerakan Mahasiswa mulai muncul pasca kemerdekaan di era 1960an. Organisasi mahasiswa yang berdiri ketika itu misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).
Dari sinilah perlahan-lahan gerakan mahasiwa mulai tampil kritis, terlepas dari tidak adanya parpol yang menaungi mereka. Disini pergerakan-pergerakan Mahasiswa gencar melakukan kritik terhadap pemerintahan Orde Lama terkait keadaan ekonomi masyarakat.  Pasca peristiwa ini gerakan mahasiswa semakin menguat. Ini bisa dilihat dari terbentuknya KAMI  yang mengusung Tritura dimana mahasiswa cenderung melekat kepada militer (AD) (dalam Adi Surya Culla, 1999).
Memasuki pertengahan tahun 1970-an, gerakan mahasiswa kembali bergolak. Tepatnya di tahun 1974 dan tahun 1978. Di tahun 1974 meletuslah Peritiwa Malari. Peristiwa Malari adalah gerakan pertama mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan pembangunan Soeharto (dalam Adi Surya Culla, 1999). Pergerakan Mahasiswa pada masa ini dengan kental ditunjukan terhadap Kebijakan Orde Baru yang Pro terhadap Modal Asing sebagai penjajahan baru di Indonesia terutama Jepang pada saat itu. Gerakan mahasiswa berikutnya yaitu pada tahun 1978. Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini muncul karena kekecewaan mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan Soeharto serta kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan berani mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali mencalonkan dirinya menjadi Presiden (dalam Adi Surya Culla, 1999).
Untuk menghindari aksi-aksi berikutnya dari mahasiswa, maka Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan (P dan K), Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).  Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup memahami politik dalam artian teori bukan praktek.. Pemerintah Orde Baru melakukan intervensi dalam kehidupan kampus, dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Kebijakan ini benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada.
Karena setiap tindakan yang mengarah kepada kritikan terhadap pemerintah, langsung dihadapi oleh cara-cara represif melalui penculikan dan penembakan misterius (petrus). Alasannya, hal itu dapat menggganggu stabilitas keamanan. Kebijakan ini sebagai bagian dari upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa. Mahasiswa dilarang berpolitik, ataupun melakukan aktivitas yang berbau politik, kebebasan intelektual kampus di kebiri, dan kontrol yang kuat kepada organisasi-organisasi mahasiswa diperketat. Kampus menjadi sebuah penjara berpikir bagi semua civitasnya.
Gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan terbatas pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented sehingga selama puluhan tahun hingga sekarang kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas mengkritisi kebijakan penguasa. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari lingkungannya. Yang terjadi kemudian adalah demoralisasi di tingkatan mahasiswa. Mahasiswa dipaksa kembali ke dunia akademik, berbangku kuliah lagi, belajar ke luar negeri, membentuk NGOs yang pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO, berbisnis, berkolaborasi dengan rezim dan sebagainya.
NGO menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil mengemis reformasi ekonomi-politik pada rezim diktator/korup, bahkan ada yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa. Disini Mahasiswa “digiring masuk kandang (kampus)” agar tidak membuat risih Pemerintah.  Mungkin saat ini kita sendiri menyaksikan tanpa adanya Neo-NKK/BKK (NKK/BKK baru) aktivitas heroik Mahasiswa sudah sendirinya mati, keracunan bahkan overdosis serta terpenjara dalam kampus sampai membusuk tua. Di era Reformasi saat ini, yang menjunjung tinggi Demokrasi tentunya kabijakan NKK/BKK melanggar UU Hak Asasi Manusia terkait Kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berfikir, berekspresi, dan berkeyakinan politik. Bahkan melanggar Kebebasan Akademik  dalam UU SISDIKNAS.  Tak bisa dipungkiri, kepeloporan gerakan mahasiswa telah menggoreskan banyak catatan-catatan gerakan pembaharuan.
Di belahan bumi manapun, mahasiswa selalu tampil pada garda terdepan dalam mendorong perubahan. Sikap kritis dan kepedulian terhadap kondisi riil masyarakat terus dimiliki mahasiswa sehingga tak segan-segan melakukan pengorbanan demi kejayaan bangsanya.  Akan tetapi sistem pendidikan kita sekarang semenjak diberlakukannya NKK/BKK menuntut seorang mahasiswa berada pada posisi study oriented, dan rasanya posisi ini tidak mungkin dapat ditawar-tawar lagi. Melupakan semua keresahan sosial dan penderitaan rakyat yang dilihat dan dirasakannya. Serta bekerja keras meraih nilai terbaik agar sebanding dengan nilai rupiah yang telah dikeluarkan untuk membiayai ongkos kuliah yang memang ditetapkan mahal oleh penguasa.Iklim NKK/BKK masih berlumut di dunia kampus. Sehingga sampai sekarang pergerakan mahasiswa dianggap jauh dari memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
(dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: